Pages

Friday 12 February 2010

Ilmu Berbakti

Oleh: Fanda

Mau menuntut ilmu? Daftarkanlah dirimu ke sekolah, tentu saja. Sekolah memang tempat menuntut ilmu. Semua orang tua yang memiliki putra/putri yang akan menanjak balita pasti sudah mulai bertanya sana-sini mengenai sekolah. Sekolah apa yang sekarang bagus (maklum jaman sudah berubah, sekolah yang pada jaman mereka dulu bagus, belum tentu sekarang masih), berapa budget yang harus disiapkan, dll.

Masalahnya, apakah dengan memasukkan anak ke suatu sekolah yang bagus, itu berarti pendidikan si anak pasti terjamin sehingga orang tua bisa lepas tanggung jawab untuk mendidiknya? Oh tidak! Paling tidak, tidak-kalau itu di Indonesia (soalnya aku tak pernah tahu system pendidikan di negara lain). Menurutku, sekolah di Indonesia terlalu berfokus pada peningkatan kecerdasan otak (IQ) semata, sementara kualitas yang lain, seperti kecerdasan emosional (EQ) kurang atau belum diperhatikan.

Satu contoh saja, pada waktu kelulusan sekolah (SMA). Kelulusan boleh dipandang sebagai hal paling penting dalam hidup para ABG. Bagaimana tidak, itu kan pintu gerbang menuju masa depan mereka? Jadi, apa yang mereka rasakan? Senang, bahagia, lega, bersyukur. Pasti semua siswa (yang lulus) merasakan hal yang sama. Namun, bagaimana cara mereka mengekspresikan rasa bahagia dan syukur tadi? Kita tahu sendiri bagaimana suasana di banyak sekolah di tanah air ini ketika kelulusan sekolah. Corat-coret di baju seragam (kalau jamanku dulu cukup pake spidol, dan yang ditorehkan tanda tangan dan nama saja), kalau sekarang pakai cat warna-warni, dengan gambar atau tulisan apa saja.

Belum cukup, mereka yang naik sepeda motor akan melakukan konvoi di jalanan, dengan pakaian yang warna-warni tak keruan, merasa menjadi raja atau ratu jalanan sehingga tak lagi memperhatikan rambu lalu lintas, apalagi keselamatan pemakai jalan (termasuk dirinya sendiri). Memang, itu hak mereka sih. Toh mereka sudah bersusah payah belajar selama berhari-hari, memeras otak berjam-jam (mungkin loh ya…) demi mendapat predikat lulus itu. Jadi boleh toh kalau merayakan hari istimewa itu dengan tidak biasa?

Boleh saja. Harus malah, agar kelulusan itu menandai akhir sebuah fase perjalanan hidup, untuk kemudian memasuki fase berikutnya. Tapi, bagaimana kalau dengan suatu cara yang lebih bermakna dan bermanfaat serta bermartabat? Gimana caranya?

Mungkin kita boleh mencontoh cara para pelajar sebuah SMA di Korea Selatan ini. Para lulusan SMA Daemyung di Suwon, Gyeonggi ini merayakan kelulusannya dengan cara yang amat bersahaja, namun sesungguhnya jauh lebih berarti (baik bagi lulusan sendiri, maupun bagi orang tua mereka, dan mungkin bagi semua warga sekolah itu). Apa yang mereka lakukan terekam indah lewat gambar ini (maaf kalau tak terlalu bagus resolusinya karena hasil scan dari foto di koran)

.
Foto itu diberi judul ‘Tanda Bakti Anak’. Para lulusan bergantian membasuh kaki kedua orang tua mereka di dalam sebuah baskom. Sederhana bukan? Lalu apa artinya? Bagaimanapun mereka bisa lulus sekolah adalah hasil dari perjuangan dan pengorbanan kedua orang tua mereka. Orang tua sudah berkorban sedemikian demi masa depan yang gemilang buat anak-anaknya. Bagi orang tua, peristiwa itu pasti membuat mereka dihargai oleh anaknya, sekaligus membuat mereka bahagia dan bangga pada anaknya. Dan bagi si anak, peristiwa itu memberi pelajaran kepada mereka untuk menghargai pengorbanan orang lain, bahwa manusia tak dapat hidup sendirian dan mencapai segala sesuatu tanpa orang lain. Dan tentu saja, agar mereka tidak lupa kacang akan kulitnya, agar mereka tetap berbakti dan makin menghormati orang tuanya.

Ternyata, hal-hal kecil seringkali justru bermakna besar jika dilakukan dengan sepenuh hati. Dan ternyata pula, ada satu ilmu yang seharusnya dimasukkan dalam kurikulum di sekolah. Ilmu Berbakti. Salut pada SMA di Korea itu yang sudah menanamkannya pada anak didiknya melalui seremoni yang bersahaja itu…

Foto diambil dari Jawa Pos 11 Pebruari 2010 halaman 'Internasional'

pelanggan setia