Sebahagian orang-orang Islam yang mengaku pintar dalam hal agama berpendapat bahwa menerima pluralisme itu tidak dibenarkan dalam Islam. Terminologi 'agamaku agamamu' menjadi patokan mutlak yang kadang dimaknai secara sempit dalam wilayah pemikiran kelompok ini. Sebahagian lagi menyatakan pluralisme justru adalah wahana bagi Islam untuk "bergaul" di zaman yang sudah tanpa sekat-sekat ini.
Golongan yang kedua diatas tentu mafhum bahwa ini adalah zaman di mana ruang dan waktu telah menjadi kumpulan zarrah yang bisa dipadatkan ke dalam satu titik file saja di laptop, folder di ponsel dan sebagainya. Hari ini manusia mampu mengontrol ekonomi, politik dan bahkan sosial budaya dengan hanya melalui sebuah lempengan kecil mikrochip.
Jika ada dua golongan yang mempertentangkan tentang pluralisme, maka apakah tidak sebaiknya dimunculkan golongan ketiga yang bisa disebut sebagai aliran neopluralisme? Maaf ini hanya istilah yang saya ciptakan sendiri. Entahlah jika ada yang telah menciptakannya sebelum ini.
Neopluralisme lebih ke arah penyeimbangan di antara dua kubu pemikiran. Jika kalangan anti pluralisme menolak mengucapkan "Selamat Natal dan Tahun Baru" kepada saudara-saudara kita yang beragama kristiani, misalnya. Disebabkan pemahaman bahwa ucapan itu justru bisa bermakna "turut" menjadi pengikut kristiani. Pro-neopluralisme dapat menyeimbangkannya dengan tetap memberi ucapan selamat kepada kaum kristiani. Tentu ada modifikasi di dalam ucapan itu. Misalnya, "Selamat merayakan Natal dan Tahun Baru Masehi 2010" bukannya "Selamat Natal dan Tahun Baru 2010."