
Walaupun ada peringatan dari Presiden Rusia, Dmitry Medvedev terhadap konsekuensi dari merajalelanya fenomena korupsi ini. Dalam hal ini, ia menyatakan dengan tegas akan memerangi korupsi sebagai prioritas kebijakan politiknya. Ia juga memutuskan untuk membentuk Komisi Nasional untuk Pemberantasan Korupsi. Bahkan di akhir tahun lalu ia telah mendapat persetujuan dari Majlis Duma terkait rangkaian undang-undang yang memperberat hukuman bagi pelaku kejahatan korupsi. Namun semua itu tidak mengakibatkan berkurangnya kejahatan korupsi.
Misalnya saja seorang koruptor dihukum penjara selama 20 tahun maka Negara harus menanggung kerugian-kerugian sebagai berikut:
- Selama 20 tahun pemerintah harus menanggung biaya hidup terhukum. Bila asumsi biaya makan seorang Napi setiap hari berkisar Rp. 10.000,- maka selama 20 tahun (dengan asumsi zero inflation), biaya yang harus ditanggung pemerintah berkisar: Rp. 12.000 x 20 tahun x 365 hari = Rp. 73.000.000,- untuk seorang Napi saja. Belum lagi menyediakan prasarana lain yang juga tidak kalah banyaknya dan juga biayanya.
- Alangkah lebih baik dana dan anggaran pembiayaan narapidana itu dialihkan untuk hal lain yang lebih bermanfaat demi kesejahteraan atau memberi penghidupan bagi orang miskin di negeri ini. Penjara atau sekarang dikenal sebagai Lembaga Pemasyarakatan, belum tentu dapat membina seseorang untuk berperilaku lebih baik lagi. Ini terbukti dari beberapa kasus kejahatan kriminal dan narkoba, penjara justru menjadi “sekolahan” untuk memperbaiki teknik kejahatannya..
- Hukuman yang demikian lama, tidak jarang membuat keretakan hubungan rumah tangga dan persaudaraan. Yang akhirnya malah menimbulkan guncangan bagi keluarga narapidana terutama bagi anak-anak. Dan anak-anak yang berlatar belakang broken home, tidak jarang akan menimbulkan persoalan baru bila ia sudah dewasa kelak.
- Hukuman penjara juga berarti membuat si terhukum harus mampu menahan syahwat libidonya. Karena sejak ia menghuni penjara, maka ia tidak bebas lagi menyalurkan libidonya secara halal. Tidak menutup kemungkinan membuka peluang pelacuran tersembunyi di penjara atau penyimpangan perilaku seksual di penjara mulai dari yang ringan seperti onani hingga perilaku homoseksual. Dan hal ini malah menjadi kemungkaran yang baru dan tidak mustahil pula malah menjadi ajang penyebaran penyakit kelamin yang mematikan seperti AIDS.
- Tidak jarang kehidupan gratis di dalam penjara bisa menyebabkan motivasi seseorang untuk berbuat kejahatan. Jadi motivasinya:” berbuat jahat dulu, kemudian hidupnya akan ditanggung Negara.”
Logikanya sangat mudah dipahami. Penjara sungguh mahal jika dibandingkan dengan hukum potong tangan, yang cepat, berbiaya murah dan memiliki efek jera,. Dalam hukum Islam, terhukum akan diminta taubat terlebih dahulu sebelum dieksekusi.
Dalam efek psikologis, hukuman yang bersifat mencederai fisik biasanya lebih punya efek jera. Sanksi (hukuman) dalam Islam berfungsi sebagai zawâjir (pencegah), yakni mencegah dilakukannya kejahatan yang sama di dunia, dan juga berfungsi sebagai jawâbir (penebus), yakni menebus (menghapus) sanksi di akhirat.
Sebelum Islam memberlakukan hukuman potong tangan bagi pencuri, maka Islam terlebih dahulu membuat sistem yang sempurna, yang menjelaskan realitas kepemilikan, sebab-sebab kepemilikan, bentuk-bentuk transaksi kerja sama, mata uang, menentukan sumber pendapatan Baitul Mal, melarang penipuan, penyuapan, dan korupsi. Sebagaimana Islam memecahkan problem kemiskinan melalui pendistribusian kekayaan yang baik dan merata, mendorong untuk bekerja, dan menjelaskan hukum sewa-menyewa (upah-mengupah).
Sebenarnya masih banyak lagi solusi-solusi yang berupa sistem ekonomi Islam yang unik, karena eksistensinya yang merupakan wahyu dari Allah, yang mengharuskan kaum Muslim menerapkannya sebagaimana sistem-sistem dan perundangan-perundangan yang lain dengan penerapan secara revolusioner dan menyeluruh.
Mungkinkah hukum potong tangan bisa diterima dan diterapkan di Indonesia ? Perdebatan panjang pasti akan terjadi dengan sengit. Kemungkinan besar perdebatan akan dimulai oleh kalangan yang antipati terhadap hukum Islam yang diangap radikal, ekstrim dan semacamnya. Kalangan ini justru kebanyakan berasal dari umat Islam sendiri. Logikanya mudah dipahami. Kebanyakan koruptor di Indonesia memang beragama Islam.
Substansinya sebenarnya terletak pada efesiensi dan efektifitas sebuah jenis hukuman. Maka dibutuhkan semacam konsensus nasional yang mau tidak mau harus melibatkan para pakar hukum, tata negara, pemuka-pemuka semua agama yang ada di Indonesia dan semua elemen.
Ini adalah jalan tengah di tengah pluralisme dan agama-agama yang berbeda. Untuk mengurainya sederhana saja:
1. Upaya menekan angka korupsi sampai ke angka terendah hanya dapat dicapai jika hukuman itu berpotensi memberikan efek jera yang sangat kuat.
2. Satu-satunya jenis hukuman bagi koruptor yang bisa memberikan efek jera hanya hukum agama termasuk hukum potong tangan dalam agama Islam.
3. Agama-agama yang ada dengan masing-masing pemeluknya harus tetap dihormati. Koruptor yang bukan Islam tentu tidak boleh dihukum potong tangan. Agama Kristen, Katolik, Hindu dan Budha harus memberikan penerapan hukuman yang radikal untuk koruptor sesuai dengan hukum agama yang dianutnya masing-masing. Dalam hal ini sedapat mungkin agama-agama di Indonesia selain Islam harus menyepakati bentuk hukuman yang dianggap paling 'setara' atau 'mendekati' hukum potong tangan.
NB : Artikel ini saya ikut sertakan sebagai sumbangsih dalam kompetisi ANTI KORUPSI BLOGPOST COMPETITION yang diselenggarakan oleh www.ceritainspirasi.net
NB : Artikel ini saya ikut sertakan sebagai sumbangsih dalam kompetisi ANTI KORUPSI BLOGPOST COMPETITION yang diselenggarakan oleh www.ceritainspirasi.net